Penulis: Aditya. (Wartawan Bangka Belitung)
PANGKALPINANG, newsharian.com – Polemik maladministrasi dalam pencairan anggaran kegiatan Dinas Pendidikan Provinsi Babel kembali mencuat. Ketika sejumlah pejabat terkait dikonfirmasi mengenai hal ini, banyak yang memilih bungkam, terutama saat ditanyakan tentang peran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kegiatan yang seharusnya menjadi penanggung jawab utama proses tersebut.
Sikap diam ini justru semakin memicu pertanyaan publik tentang adanya ketidakberesan dalam pengelolaan anggaran.
Kejadian ini bermula ketika ditemukan adanya pencairan anggaran kegiatan O2SN dan FLS2N serta GSI tahun 2023 Dinas Pendidikan Bangka Belitung yang tidak jelas alur penanggung jawabannya.
Anggaran telah dicairkan tanpa adanya keterlibatan atau bahkan pengetahuan dari PPK kegiatan.
PPK sendiri merupakan pejabat yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola dan menandatangani perjanjian terkait anggaran, sehingga ketidaktahuan mereka menjadi pertanda adanya prosedur yang tidak sesuai atau penyimpangan.
Bungkamnya Pejabat: Menghindari Transparansi atau Strategi Bertahan?
Ketika dikonfirmasi oleh media tim Jobber (Journalis Babel Bergerak) sejumlah pejabat terkait enggan memberikan keterangan, bahkan menolak untuk memberikan klarifikasi mengenai mekanisme pencairan anggaran tersebut.
Sikap bungkam ini bisa diartikan sebagai upaya untuk menghindari sorotan publik atas potensi kesalahan atau pelanggaran administrasi yang terjadi.
Namun, langkah ini justru menimbulkan spekulasi baru tentang adanya maladministrasi yang lebih serius di balik pencairan anggaran tersebut.
Padahal, sebagai pejabat publik, keterbukaan informasi merupakan kewajiban untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
Ketidakjelasan dan sikap tertutup dapat memperkuat kesan bahwa ada upaya untuk menutupi potensi pelanggaran prosedur atau bahkan dugaan korupsi.
Konsekuensi Hukum dan Akuntabilitas Publik
Kasus ini tidak hanya mengancam kredibilitas pejabat yang bungkam, tetapi juga membawa konsekuensi hukum yang serius.
Maladministrasi dalam pencairan anggaran negara berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang mengatur bahwa setiap tindakan administrasi harus transparan, akuntabel, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jika terbukti adanya kelalaian atau penyalahgunaan wewenang, pejabat yang terlibat dapat dikenakan sanksi administrasi hingga pidana.
Selain itu, pelanggaran ini bisa memperlebar potensi kebocoran anggaran negara. Anggaran yang dicairkan tanpa pengawasan yang jelas berisiko disalahgunakan, sehingga akan berdampak pada realisasi kegiatan yang tidak optimal dan merugikan masyarakat.
Dampak pada Reputasi Institusi Pemerintah
Sikap diam dari pejabat tidak hanya merusak citra pribadi mereka, tetapi juga berdampak negatif pada reputasi institusi pemerintahan secara keseluruhan. Masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan pada integritas pemerintah ketika pejabat yang bertanggung jawab justru menghindar dari pertanggungjawaban.
Hal ini juga berisiko memperburuk persepsi publik tentang korupsi dan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola keuangan negara dengan baik.
Di era keterbukaan informasi dan tuntutan transparansi, bungkamnya pejabat di hadapan dugaan maladministrasi merupakan langkah mundur yang tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi.
Publik menuntut adanya penjelasan yang jelas dan langkah-langkah korektif untuk memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang.
Tuntutan Publik: Investigasi dan Reformasi
Kasus ini mendorong tuntutan dari berbagai kalangan agar dilakukan investigasi yang mendalam terkait prosedur pencairan anggaran. Lembaga pengawas, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diharapkan turun tangan untuk mengusut tuntas kasus ini.
Selain itu, perlu adanya reformasi dalam sistem pengelolaan anggaran untuk memastikan bahwa seluruh proses pencairan berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada, dan melibatkan PPK secara penuh sebagai bagian dari mekanisme pengawasan.
Sikap bungkam pejabat dalam menghadapi pertanyaan seputar maladministrasi pencairan anggaran hanya akan menimbulkan lebih banyak spekulasi dan kecurigaan.
Dalam situasi ini, transparansi dan akuntabilitas merupakan kunci untuk memulihkan kepercayaan publik serta mencegah potensi penyalahgunaan anggaran di masa mendatang. Para pejabat yang bertanggung jawab harus segera memberikan penjelasan terbuka, dan langkah-langkah korektif perlu dilakukan agar kejadian serupa tidak kembali terulang di masa depan. (NH)