Sumber Foto: Internet
Penulis: ETHA ALMATI, Mahasiswi Jurusan Ilmu Hukum Universitas Pamulang
NASIONAL, newsharian.com — Rohingya, sebuah kelompok etnis yang berasal dari wilayah Rakhine di Myanmar, telah menghadapi konflik dan penganiayaan yang sistematis selama bertahun-tahun.
Mereka telah menjadi korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di tanah air mereka sendiri.
Meskipun mereka telah tinggal di negara bagian Rakhine selama berabad-abad, pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan pada tahun 1982 yang mengakibatkan sebagian besar orang Rohingya kehilangan kewarganegaraan mereka dan dianggap sebagai ‘orang asing’
Rohingya menghadapi diskriminasi sistematis, pembatasan hak-hak dasar, dan kekerasan etnis, terutama setelah meningkatnya ketegangan etnis di Negara Bagian Rakhine.
Krisis Kemanusiaan Rohingnya dimulai
Sejak tahun 2017, ribuan orang Rohingya telah melarikan diri dari kekerasan di Myanmar dan mencari perlindungan di negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dari data yang dimiliki mencatat jumlah pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri dari kamp pengungsi di Bangladesh dan menyeberangi Laut Andaman dengan perahu Jumlahnya diperkirakan akan mencapai 3.722 pada November 2023, dalam perjalanan ke Malaysia, termasuk Indonesia.
Menurut berita di media sosial, penyebab penduduk Rohingya meninggalkan kamp pengungsi di Bangladesh karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya; kondisi kehidupan di kamp tidak nyaman, kurangnya lapangan pekerjaan, tidak terdapat akses pendidikan, terbatasnya jatah makanan,
serta tidak adanya kepastian hidup dan masa depan.
Konflik ini menyebabkan gelombang besar pengungsi Rohingya mencari suaka dan perlindungan di negara-negara tetangga, termasuk di Indonesia. Dari hasil pendataan UNHCR Februari 2023 tercatat sekitar 1.000 pengungsi rohigya di Indonesia.
Mereka datang dengan harapan memulai kehidupan baru yang aman dan damai, jauh dari kekerasan yang mereka alami di Myanmar.
Namun, perjalanan mereka tidaklah mudah. Ketika tiba di Indonesia, mereka seringkali menghadapi tantangan besar dalam mencari tempat tinggal, lapangan kerja, dan akses ke layanan dasar seperti pendidikan dan perawatan kesehatan.
Banyak dari mereka terpaksa hidup dalam kondisi yang sangat sulit dan tidak manusiawi.
Upaya untuk mencari keadilan bagi Rohingya masih jauh dari mencapai tujuan. Banyak Rohingya yang masih menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pengakuan resmi sebagai pengungsi.
Selain itu, kekhawatiran akan deportasi dan ketidakpastian tentang masa depan mereka juga menyebabkan ketegangan dan kecemasan yang berkelanjutan.
Upaya indonesia terhadap keadilan rohingya, Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki tanggung jawab untuk mematuhi hukum internasional, termasuk dalam hal perlindungan terhadap pengungsi.
Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 yang ditandatangani oleh Indonesia menyatakan bahwa negara-negara anggota harus melindungi dan memberikan perlindungan kepada pengungsi yang mencari suaka di wilayah mereka.
Namun, mengutip dari ketentuaan tersebut status pengungsi Rohingya di Indonesia tidak diatur oleh Konvensi Pengungsi tersebut karena Indonesia belum meratifikasinya.
Oleh karena itu, Indonesia tidak secara hukum diwajibkan untuk menerima Rohingya sebagai pengungsi berdasarkan instrumen hukum internasional.
Meskipun demikian, Indonesia memiliki kebijakan yang mengizinkan Rohingya tinggal sementara di negara ini.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan sikap kemanusiaan dengan memberikan bantuan kemanusiaan dan akses ke layanan dasar kepada Rohingya yang mencari perlindungan di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md menegaskan, meski Indonesia bukan negara penandatangan Konvensi Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), negara tersebut mendukung pengungsi Rohingya untuk kepentingan kemanusiaan.
“Problem negara kita itu, banyak pengungsi dari Rohingya itu diurus oleh UNHCR, komisi PBB untuk penanganan pengungsi. Indonesia itu sebenarnya tidak ikut menandatangani konvensi PBB tentang para pengungsi itu. Namun, demi kemanusiaan, Indonesia itu menolong terus,” kata Mahfud melalui keterangan tertulisnya, usai menghadiri acara Dialog Kebangsaan di Pondok Pesantren Annida Al Islamy, Bekasi Timur dilansir dari infopublik.id beberapa waktu lalu.
Keputusan menerima atau menolak pengungsi tertentu merupakan hak kedaulatan suatu negara.
Hal ini memperhitungkan keamanan nasional, kapasitas, dan kebijakan imigrasi negara tersebut.
Sedangkan bagi etnis Rohingya, Indonesia tidak memiliki kewajiban hukum untuk menerima mereka sebagai pengungsi, namun tetap berkomitmen untuk memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada mereka, politik tingkat nasional dan pertimbangan politik. (*)