Editor: Aditya.
PANGKALPINANG, newsharian.com – Dalam interaksi dengan media, Direktur Pengembangan Usaha PT Timah Tbk, Dicky Octa Zahriadi, menyatakan bahwa segala pertanyaan yang diajukan oleh awak media sebaiknya diarahkan langsung ke bagian Sekretaris Perusahaan (Sekper).
Pernyataan ini terkesan sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab, yang memicu tanggapan beragam dari publik, terutama terkait transparansi dan akuntabilitas perusahaan dalam menjalankan operasional penambangan timah.
Menanggapi beberapa pertanyaan seputar isu penambangan ilegal di wilayah IUP, khususnya di area laut Selindung, Bangka Barat, Dicky menyatakan bahwa sebagai badan usaha, PT Timah tidak memiliki wewenang untuk melakukan penindakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi di lapangan.
“PT Timah sebagai badan usaha tidak punya wewenang untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran hukum, namun kami sudah melaporkan secara formal hal tersebut kepada aparat penegak hukum,” ujar Dicky.
Pernyataan ini seakan menegaskan bahwa PT Timah lebih berfokus pada pelaporan ke aparat tanpa peran aktif dalam penegakan ketertiban di area operasionalnya.
Sementara ketika ditanya mengenai pengawasan PT Timah terhadap kuota dan SPK (Surat Perintah Kerja) yang diberikan kepada CV, terutama terkait masalah ponton ilegal yang melebihi jumlah SPK resmi, Dicky kembali menekankan bahwa penegakan hukum bukanlah wewenang PT Timah.
Dalam pernyataannya, ia hanya menggarisbawahi bahwa PT Timah melaksanakan penambangan sesuai aturan dan Good Corporate Governance (GCG), serta rutin melakukan pelaporan ke instansi terkait.
Namun, Dicky tidak merinci langkah konkret apa yang diambil oleh PT Timah untuk memastikan kepatuhan terhadap SPK dan meminimalisir ponton ilegal yang kerap beroperasi di wilayah tersebut.
Selain itu, saat disinggung mengenai rendahnya persentase produksi yang disetorkan oleh penambang—hanya sekitar 10-20% dari target yang dilaporkan—Dicky tidak memberikan jawaban spesifik tentang solusi yang diupayakan perusahaan untuk mengatasi masalah ini. Jawaban yang diberikan cenderung umum, yaitu bahwa PT Timah terus melakukan pengawasan dan pelaporan.
Satu-satunya langkah khusus yang disebutkan Dicky adalah upaya aktif dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat serta melaporkan temuan ke instansi terkait.
“Langkah khusus: aktif sosialisasi ke masyarakat, melaporkan ke instansi terkait untuk kemudian ditindaklanjuti,” ujarnya.
Namun, pernyataan ini tetap mengindikasikan bahwa tindakan PT Timah sebatas pada penyampaian informasi tanpa adanya langkah konkret untuk menekan laju pertambangan ilegal atau memastikan kepatuhan di area operasional.
Pernyataan Dicky yang terkesan melepas tanggung jawab ini mengundang berbagai kritik dari kalangan masyarakat dan pemerhati lingkungan. Banyak pihak yang menilai bahwa sebagai perusahaan besar yang beroperasi di sektor tambang, PT Timah seharusnya memiliki komitmen yang lebih kuat dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pelaporan secara efektif.
Sebagai contoh, perusahaan dapat bekerja sama lebih erat dengan aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat untuk mengendalikan aktivitas penambangan ilegal yang semakin marak.
Sejumlah ahli menyarankan agar PT Timah juga mengembangkan mekanisme pelaporan yang dapat diakses oleh karyawan dan masyarakat, sehingga informasi mengenai aktivitas ilegal dapat segera ditindaklanjuti.
Selain itu, evaluasi berkala terhadap kepala unit yang bertugas di lapangan juga dianggap penting untuk memastikan kinerja mereka dalam mengawasi aktivitas penambangan sesuai dengan prosedur perusahaan.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah tanggung jawab sosial dan lingkungan yang harus dipenuhi oleh PT Timah sebagai perusahaan tambang. Penambangan ilegal berpotensi merusak ekosistem dan berdampak negatif pada kehidupan masyarakat sekitar.
Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah yang lebih konkret dari PT Timah dalam menjaga keseimbangan antara operasional tambang dan pelestarian lingkungan, seperti memberikan edukasi kepada penambang dan masyarakat mengenai pentingnya penambangan yang legal dan ramah lingkungan.
Melihat polemik yang muncul, solusi yang dapat diambil oleh PT Timah adalah memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum, pemerintah, serta komunitas lokal. Selain itu, perusahaan juga perlu memperbaiki mekanisme komunikasi dengan media, sehingga informasi yang disampaikan tidak terkesan menutup diri atau melempar tanggung jawab.
Langkah transparansi dan komunikasi terbuka ini diharapkan dapat membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap PT Timah sebagai perusahaan yang bertanggung jawab dalam operasional tambangnya. Keterlibatan aktif dalam menangani isu ilegalitas dan dampak lingkungan akan memperlihatkan keseriusan PT Timah dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, yang pada akhirnya akan memperkuat citra positif perusahaan di mata publik. (JB/NH)